MENANTI RELAKSASI DARI PEMERINTAH

Pengusaha pelayaran nasional hingga kini masih menanti relaksasi atau keringanan dari pemerintah. Salah satunya adalah keringanan dalam pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku di Kementerian Perhubungan.

Ketua Umum INSA Carmelita Hartoto mengatakan, INSA sudah memberikan berbagai masukan atau usulan kepada pemerintah mengenai stimulus yang dibutuhkan pelayaran nasional dalam menghadapi pandemi Covid-19. Terkait keringanan pembayaran PNBP, saat ini masih dibahas oleh Kementerian Perhubungan.

“Keringanan PNPB masih digodok di biro hukum Kemenhub, keringanan PNBP akan segera banyak membantu kami. Kalau dari saya karena pemerintah uangnya juga terbatas ya, yang paling utama kebijakan yang tidak pakai uang yang bisa dikasih. Istilahnya seperti PNBP ini mungkin tidak kasih penundaan,” kata Carmelita seperti dikutip bisnis.com, Jumat (26/6/2020).

Lalu, sambung Carmelita, jenis relaksasi penundaan pembayaran lain yang dapat menambah biaya pelayaran, perlu kuota waktu lebih lama lagi. Sebab, relaksasi seperti restrukturisasi pinjaman melalui kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tak kunjung ada kejelasan.

Menurut Carmelita, keuangan pemerintah yang terbatas membuat relaksasi yang berkaitan dengan pembiayaan agak sulit dilakukan. Dari sisi pinjaman, dikatakan Carmelita, perusahaan pelayaran memiliki pinjaman yang cukup tinggi.

Carmelita berharap pemerintah bisa segera merealisasikan relaksasi yang dibutuhkan pelayaran nasional, jika tak kunjung adanya kejelasan maka pelayaran nasional mengarah kepada kebangkrutan.

“Setiap industri kembali lagi kepada berapa lama kekuatan mampu bertahan, kami tiga bulan, semakin besar semakin berat untuk industri,” ungkapnya.

Seperti diketahui, dampak dari pandemi Covid-19 ini merata dirasakan pada hampir seluruh jenis sektor pelayaran saat ini. Misalnya saja, pendapatan angkutan penumpang/Roro merosot 75%-100%. Kondisi yang sama terjadi pada sektor kontainer yang turun 10%-25%, curah kering, liquid tanker, tug and barges, yang juga mengalami penurunan pendapatan 25%-50%.

Merosotnya harga minyak dunia yang menyentuh USD 17,5 per barel, telah berdampak buruk terhadap industri minyak dan gas (migas) bumi. Kegiatan perusahaan migas mulai dari hulu sampai hilir melakukan evaluasi dan meninjau ulang kegiatan operasinya, termasuk melakukan efisiensi usaha misalnya, mengurangi produksi bahkan stop operasi. Dan ini berdampak pada pelaku usaha pelayaran supporting di sektor migas, seperti penurunan sewa atau renegosiasi kontrak 30%-40%, bahkan terminasi awal (early termination).

Sedangkan beban biaya naik signifikan akibat jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Pembiayaan leasing, asuransi dan spare part kapal adalah dalam US dolar. Akan tetapi pendapatan perusahaan dalam nilai rupiah. Sehingga pelayaran mengalami kerugian valuta. Akibat pandemi ini sebagian besar pelanggan menunda pembayaran. Sehingga cash flow pelayaran mengalami defisit. (*)


Your email address will not be published. Required fields are marked *

By using this form you agree with the storage and handling of your data by this website.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.